Minggu, 21 November 2010

Sunnah


Munawir Husni
Sunnah adalah salah satu unsur terpenting dalam Islam. Ia menempati martabat kedua -setelah Al-Qur`an - dari sumber-sumber hukum Islam. Dalam artian, jika suatu masalah atau kasus terjadi di masyarakat, tidak ditemukan dasar hukumnya dalam al-Qur`an, maka hakim ataupun mujtahid harus kembali kepada Hadits Nabi -Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-. Dalam praktek banyak sekali ditemukan masalah yang tidak dimuat dalam Al-Qur`an dan hanya didapatkan ketentuannya di dalam Hadits Nabi. Hal ini tak terlalu sulit dipahami, sebab Al-Qur`an adalah Kitab Allah yang hanya memuat ketentuan-ketentuan umum, prinsip-prinsip dasar dan garis-garis besar masalah. Sedangkan rinciannya dituangkan di dalam Sunnah Nabi. Dan memang harus demikian. Sebab jika tidak, sulit dibayangkan Al-Qur`an akan menjadi setebal apa. Karena ia harus memuat bermacam-macam masalah kecil dan parsial yang tak ada batasnya.
Kemudian masalah yang dihadapi umat manusia tak pernah berhenti dan zaman senantiasa berkembang. Masalah yang aktual sepuluh tahun silam, belum tentu terdengar di zaman ini. Sekiranya al-Qur`an memuat masalah-masalah kecil dan bersifat lokal, maka penyajiannnya akan terkesan kurang sejalan dengan roda perputaran zaman. Padahal Al-Qur`an diturunkan Allah SWT untuk menjadi pegangan umat manusia hingga akhir zaman, dan konsepnya senantiasa relevan untuk setiap kurun waktu dan tempat. Oleh karena itu, Al-Qur`an tidak memuat cara pembuatan pesawat terbang, teknik merakit komputer, rumus-rumus matematika. Sebab masalah-masalah sejenis ini sifatnya temporer dan berkembang terus menerus sesuai dengan tingkat kemajuan peradaban umat manusia. Akan tetapi Al-Qur`an cukup menginformasikan masalah-masalah general yang bersifat mutlak dan tak mengalami perubahan. Al-Qur`an juga memberikan dorongan kuat untuk menggunakan akal pikiran manusia ke arah yang bermanfaat. Nah, di sinilah letaknya salah satu I’jaz Al-Qur`an.
Masalah-masalah agama yang tidak dirinci Al-Qur`an itu pada umumnya dapat ditemukan di dalam Hadits Nabi. Umpamanya aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji yang merupakan rukun Islam, tidak dijelaskan rinciannya dalam Al-Qur`an, akan tetapi dijabarkan secara detail oleh Sunnah Nabi SAW. Demikian pula aturan mu’amalat dan transaksi, pelaksanaan hukuman pidana, aturan moral dan lainnya. Dari sini dapat ditangkap betapa urgensinya hadits dalam kehidupan berIslam ini. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam didapati di dalam sunnah.
Orientalisme dan Sunnah
Melihat betapa urgensinya Sunnah dan perannya yang esensial dalam Islam, tidak mengherankan kenapa kalangan yang tidak senang pada Islam berupaya dengan gigih untuk mencari-cari kelemahannya, walaupun dengan cara mengada-ada. Tujuannya adalah untuk menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada As- Sunnah ini. Sebab mereka memahami bahwa jika Sunnah dapat disingkirkan dari kehidupan umat Islam, maka otomatis Islam tidak akan dapat tegak. Karena, mustahil mempraktekkan Islam tanpa Sunnah Nabi. Dan seandainya Sunnah Nabi sudah dapat mereka sisihkan, terbukalah peluang untuk menyimpangkan Al-Qur`an dan memahaminya menurut selera masing-masing. Beginilah siasat musuh-musuh Islam. Sebab selama ini, yang menjadi penghalang utama mereka untuk menyimpangkan pemahaman Al-Qur`an adalah petunjuk-petunjuk Sunnah yang membingkai pemahaman terhadap Al-Qur`an secara benar. Selama umat Islam berpegang teguh pada Al-Qur`an dan Sunnah, maka upaya-upaya pihak luar akan senantiasa mengalami kegagalan.
Kemudian mereka sendiri menyadari bahwa upaya-upaya yang mereka arahkan selama ini -betapapun terencananya- untuk melumpuhkan Al-Qur`an berakhir dengan kegagalan. Karena itu mereka ingin merubah sasarannya kepada sumber Islam yang lain, dengan asumsi bahwa Sunnah tidak terpelihara sebagaimana Al-Qur`an. Mereka lupa kalau dien ini secara umum dipelihara oleh Allah SWT.
Nah, kalangan yang paling berkepentingan dengan masalah ini di zaman modern ini adalah kaum orientalis (al-mustasyriqun). Ini terlihat dari kegigihan mereka dalam menekuni hadits dan beberapa karya yang mereka sumbangkan dalam disiplin Ilmu Hadits.
Jika diperhatikan karya-karya orientalis di bidang Hadits, yang paling spektakuler adalah Ensiklopedi Hadits (al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfazh al-Hadits an-Nabawy) yang merupakan hasil kerja kolektif sejumlah orientalis, yang diketuai oleh A.J. Wennsinck. Ensiklopedia ini boleh dinilai sebagai hasil karya yang hebat dan dapat juga dikatakan biasa-biasa saja. Itu tergantung siapa penilainya. Bagi seorang peneliti pemula di bidang Hadits, karya ini sudah amat memuaskan dan cukup dikagumi, karena disusun sedemikian rupa untuk memudahkan peneliti atau pencari hadits untuk menemukan hadits yang dicarinya dalam sembilan kitab Hadits utama (Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzy, Nasa`i, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwath-tho` Malik, dan Sunan Darimy).
Tapi bagi sementara ilmuan yang sudah lama bergelut dengan Hadits, merasa tidak terlalu kaget dengan karya ini. Sebab karya semisal - dalam masalah indeks Hadits - telah berabad-abad sebelumnya disusun oleh Ulama Hadits. Di antaranya ensiklopedia yang cukup kesohor "Jami`e al-Ushul" karya Ibnu al-’Atsir. Begitu juga sebuah karya besar "Tuhfatul Asyraf" karangan Al-Hafizh Al-Mizzy. Kitab Index Hadits terakhir ini disusun berdasarkan urutan perawi hadits (sahabat dan tabi’in), bukan urutan Abjad seperti metode ensiklopedia orientalis tadi. Kemudian, pada akhir tahun delapanpuluhan, muncul ensiklopedia Hadits baru dengan judul "Mausu’at Athraf al-Hadits" sebesar duabelas jilid, karya Abu Hajar Basiyuni Zaghlul, seorang peneliti senior di bidang Hadits dari Mesir. Ensiklopedia yang mengumpulkan ribuan Hadits dari seratus lima puluh referensi Hadits klassik dan modern ini, memuat pangkal setiap Hadits dengan urutan abjad. Setiap orang yang mengetahui awal dari sebuah Hadits, akan dapat menemukan teks hadits secara lengkap beserta kitab yang menjadi sumber Hadits tersebut.
Dalam konteks ini, penulis teringat ketika belajar di program (Master) di Fak. Darul-Ulum, seorang mahasiswa mengungkapkan rasa kagumnya pada ensiklopedi orientalis tersebut. Lalu Dr. Rif’at Fauzy, Profesor Hadits di Fakultas tersebut menyahutnya dengan mengatakan: "Itu, karena anda masih "hijau" dalam Ilmu Hadits!".
Kemudian seperti diketahui banyak ahli, bahwa orientalis dalam mempersiapkan ensiklopedia itu tidak dapat melepaskan bantuan para ahli Hadits dari kaum Muslimin, khususnya Al-Ustaz Muhammad Fu`ad Abdul-Baqi, pakar Hadits terkemuka dari Mesir. Dan hal itu diakui Wennsinck sendiri dalam mukaddimah ensiklopedi tersebut, betapa mereka mengalami kesulitan tanpa bantuan dan keahlian Abdul-Baqi. Selain dari itu, masalah pencetakan karya tersebutpun mengalami kesulitan, tanpa bantuan seorang ahli percetakan kitab-kitab Arab dari India. Sebab ketika karya itu dikirim ke India untuk dicetak -paling tidak separuhnya- di penerbit Islam di India, Abd Shamad Syarafuddin, direktur penerbit itu menemukan banyak kesalahan dalam naskah ensiklopedia yang membutuhkan keahliannya untuk memperbaiki kekeliruan itu. Tegasnya, ensiklopedia karya orientalis di atas sulit dibayangkan terbit seperti yang ada sekarang tanpa jerih payah ahli-ahli Muslim baik dari segi skill Haditsnya maupun pencetakannya. Tapi yang menonjol ke permukaan adalah orientalisnya.
Begitupun karya tersebut tidaklah luput dari kesalahan ilmiah seperti yang dibayangkan sebagian kalangan. Ternyata setelah diteliti secara seksama oleh pakar-pakar Islam ditemukan kesalahan dalam jumlah yang tak sedikit dalam karya besar itu. Dr. Sa’ad Al-Marshafi dari Kuweit, menginventarisasi kesalahan itu dalam bukunya "Adhwa` ‘ala akhtho` al-mustasyriqin" mencapai 479 tempat khusus menyangkut shahih Muslim saja.
Hal tersebut kita ungkapkan di sini, bukan dengan tujuan ingin mengingkari sumbangan orientalis pada khazanah ilmu Hadits. Kita harus mengakui betapapun kecilnya karya mereka dalam ilmu-ilmu Islam. Akan tetapi -seperti ditegaskan oleh Syekh Ahmad Syakir, seorang Ulama terkemuka di Mesir, dalam "Muqaddimah Sunan At-Tirmizi"nya- kita ingin menempatkan sesuatu seimbang dengan porsinya, tidak melebihi dan tidak pula menguranginya. Karya mereka itu belumlah seberapa bila dibandingkan dengan karya-karya Ulama kita yang melimpah ruah.
Hal ini, sehubungan dengan adanya segelintir intelektual muslim yang baru mengenal dunia turats, lalu menyanjung karya orientalis secara berlebihan baik dari segi motivasi maupun kualitasnya. Hingga sampai pada keyakinan bahwa segala keahlian, hingga masalah Tafsir, Hadits dan Fiqhpun, adalah berasal dari barat. Asumsi ini tentunya muncul dari kalangan yang masih "hijau" dalam karya-karya Ulama Islam klassik (turats).



Menguji obyektifitas orientalis
Dari segi motivasi, tidaklah semua orientalis yang mempunyai karya dalam studi Islam semata-mata terdorong oleh kecintaan pada ilmu. Akan tetapi banyak dari mereka -kalau bukan seluruhnya- yang terbukti melakukan kecurangan ilmiah, pemalsuan dan ketidak jujuran. Itu bukan saja terjadi pada figur-figur tertentu semisal Goldzieher, tokoh orientalis asal Yahudi, yang selama ini dikenal fanatisme anti Islamnya mewarnai hampir keseluruhan karya-karyanya. Tapi juga pada orientalis yang sementara ini dikenal lebih obyektif seperti Karel Brockelmann, orientalis terkemuka dari Jerman yang menggeluti karya-karya Ulama Islam, juga terperangkap dalam sikap subyektif dan tidak jujur terhadap Hadits dalam sebuah karyanya "Tarikh asy-Syu`ub al-Islamiyah" . Dia dengan sengaja memberi kesan negatif tentang Islam, khususnya Hadits, ketika memberi komentar tentang "badui" dengan cara memenggal teks sebuah Hadits dan tidak menyajikannya secara utuh. Kekeliruan seperti itu sulit dibayangkan muncul dari seorang ilmuan seperti Brockelmann yang sudah lama bergelut dengan kitab-kitab klassik hingga melahirkan karya yang berharga "Tarikh at-Adab al-Arabi" (Sejarah kesusastraan Arab). Kalau bukan karena menyimpan rasa dendam "perang salib" yang tak kunjung surut.
Demikian pula akhir-akhir ini Jacque Berque dari Perancis yang melakukan pemutar balikan sejumlah arti kata-kata dan pemahaman, dalam menerjemahkan Al-Qur`an ke dalam bahasa Perancis. Padahal Berque, selama ini dikesankan sebagai orang yang cukup obyektif pada Islam karena pandangan-pandangannya yang lumayan moderat terhadap Islam. Ketidakjujuran itu berhasil disingkap oleh Dr. Zainab Abd. Aziz, profesor kebudayaan Perancis dari Universitas Monofia, Mesir dalam bukunya sekitar "Terjemahan Makna Al-Quran".
Barangkali itulah yang membuat Dr Ahmad Ghurab, pakar Mesir di Universitas London, kurang percaya pada sebutan "orientalis yang jujur". Dan Ghurab sanggup membuktikan -dalam bukunya "Ru’yah Islamiyah lil-Istisyraq" (Menyingkap tabir orientalisme)- sejumlah orientalis yang konon katanya "jujur" itu, ternyata melakukan kecurangan ilmiah dan pemalsuan. Mereka bisa saja jujur dalam beberapa hal tertentu, tapi dalam poin-poin lain kejujuran itu tidak mereka pertahankan selamanya. Nah sebagian dari kita sering terjebak dengan kejujuran orientalis yang sesaat itu, langsung menerima seluruh pikirannya, tanpa menggunakan sikap kritis sebagai ilmuan untuk setiap kasus dan masalah yang dibicarakan.

Kiat-kiat Orientalis
Bila ditelaah secara serius, dapat dipahami bahwa faktor utama yang mendorong para orientalis untuk menyebar isu di seputar Sunnah, adalah kekayaan khazanah intelektual, hukum dan peradaban yang terkandung dalam Sunnah yang selama ini menjadi landasan para Ulama. Khazanah itu tak dapat dipungkiri telah menjadi fundamen sebuah "bangunan" megah yang tegak selama berabad-abad lamanya. Sementara mereka tidak mengakui kenabian Rasulullah SAW. Sehingga mereka menuduh, bahwa semua ini tak masuk akal, lahir dari seorang Nabi yang buta huruf. Akan tetapi lebih merupakan warisan peradaban kaum Muslimin selama tiga abad pertama.
Jadi, seperti analisa Dr Sa’ad, yang menjadi ganjalan psikologis orientalis adalah penolakan mereka secara membabibuta akan kenabian Khatamul Anbiya’ (Nabi Terakhir) -SAW-. Dari sinilah titik tolak kekeliruan dan kontradiksi pemikiran mereka dalam memahami Islam secara umum, dan Sunnah secara khusus.
Selain itu, secara skill mereka kurang siap untuk menerobos samudera ilmu-ilmu Islam yang memerlukan perangkat-perangkat dasar yang kuat, khususnya dalam ilmu alat. Sementara mereka datang dari "benua" lain dengan bahasa yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula. Sayangnya, mereka memaksakan dirinya untuk menyelami samudera yang dalam itu. Wajar saja mereka menemui kendala yang tidak sederhana. Termasuk dalam kaitan ini kefatalan yang dialami Goldzieher dalam menghadapi dua jenis riwayat yang sepintas lalu kelihatannya kontradiksi, pertama, membolehkan penulisan Hadits Nabi, kedua, riwayat yang melarang pencatatan itu. Dua jenis riwayat itu muncul dalam Hadits dan atsar sahabat.
Goldzieher yang tidak mempunyai latar belakang yang kuat dalam ulum al-Hadits, sudah barang tentu sedikit kebingungan menghadapi perbedaan riwayat di atas. Sebab untuk menimbang dan mengkomparasikan, kemudian mensejajarkan dua jenis riwayat tersebut agar keluar dengan suatu natijah (konklusi) yang cemerlang, memerlukan keahlian dalam ilmu-ilmu syar’i yang tentunya tak terpenuhi orientalis.
Sehingga Prof. Fu’ad Sizkin, pakar turats Islam dari Jerman, yakin benar jika Goldzieher belum sempat mempelajari kitab-kitab Ulum al-Hadits secara utuh, kendatipun dia mengetahui bahwa sebagian kitab-kitab tersebut kala itu masih dalam bentuk manuskrip. Tambah lagi Goldzieher juga tidak mampu membedakan antara "tadwin" (pembukuan) dengan "tashnif" (penyusunan) Hadits, hingga mencampuradukkan keduanya. Itulah yang terlihat dari buah pikirannya dalam kitabnya "Studi Islam".
Untuk menggoyahkan kepercayaan pada Sunnah Nabi dan validitasnya, orientalis melontarkan berbagai isu yang jika diamati, bagian terbesarnya bukanlah produk asli pikiran orientalis. Tetapi mereka sadur dari berbagai sumber yang memuat fitnah atau kasus yang dapat dipolitisir, yang pernah terjadi di pentas sejarah Sunnah secara khusus. Kasus-kasus itu terinventarisasi di dalam referensi-referensi Islam. Sehingga mereka pada akhirnya hanya mengumpulkan berbagai isu negatif kemudian dikemas dengan analisa dan gaya yang agak sedikit ilmiah.
Di antara isu-isu itu ialah asumsi bahwa Hadits/Sunnah Nabi tidak tercatat pada masa Nabi Muhammad SAW dan sesudahnya sampai masa penyusunan Hadits yang dilakukan oleh penyusun Kitab-kitab Hadits terkenal pada abad ketiga hijriah. Jadi menurut Goldzieher terdapat rentang waktu lebih dari dua abad terputusnya hubungan Nabi dengan Hadits-haditsnya. Dampaknya -menurut logika orientalis- mengakibatkan banyaknya hadits-hadits palsu yang disusupkan ke dalam Sunnah. Dan sulit membedakan yang shahih dengan yang palsu di antara hadits-hadits itu.
Sepintas lalu jika isu ini dilontarkan kepada orang awam yang buta tentang hadits, bisa saja membenarkannya. Karena logika-logika itu dirangkai sedemikian rupa hingga tampak kelihatannya masuk akal, jika dibiarkan begitu saja tanpa diuji secara kritis. Tapi jika isu itu diteliti secara ilmiah berlandaskan pada riwayat-riwayat yang otentik, maka isu itu dengan mudah terpatahkan dan kehilangan pijakannya. Di antara literatur yang penting dalam kasus ini ialah kitab ‘As-Sunnah Qabla at-Tadwin’. Kitab karya Muhammad `Ajjaj al-Khatib ini membahas isu - yang diungkapkan oleh Goldzieher lalu diikuti oleh orientalis yang datang sesudahnya - itu secara panjanglebar yang membuktikan kekeliruan tuduhan di atas dengan argumentasi yang kokoh.
Juga Prof. Muhammad Mushthafa al-A’zhamy mencantumkan kitab ini sebagai salah satu referensinya dalam disertasi "doktor"nya di Universitas Cambridge. Hampir setiap penulisan tentang sejarah kodifikasi Sunnah akan harus merujuk ke kitab ini.
Paling tidak ada lima kitab yang secara detail mengupas kekeliruan orientalis dalam memahami sejarah kodifikasi sunnah ini, antara lain : (1) "Dirasat fi al-Hadits an-Nabawy" oleh al-A’zhamy yang terdiri dari dua jilid, merupakan salah satu referensi penting dalam pembukuan sunnah pada masa awal, (2) "As-Sunnah Qabla at-Tadwin" yaitu kitab yang pada awalnya merupakan thesis "Master" di Darul-Ulum, Universitas Kairo, (3) "As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islamy" oleh Musthafa as-Siba’i, disertasi "doktor" di Al-Azhar dan telah dicetak berulangkali, (4) "Tawtsiq as-Sunnah fi al-Qarni ats-Tsani al-Hijry" (Autentikasi Sunnah pada Abad Kedua Hijrah) oleh Rif’at Fawzy, dari Darul ‘Ulum, Kairo yang mulanya merupakan disertasi "doktor" penulisnya. (5) "Difa’ ‘an as-Sunnah" oleh Muhammad Abu Syahbah dari Al-Azhar.
Sebenarnya, isu yang meragukan kodifikasi sunnah pada priode awal Islam ini semakin lama makin kehilangan pasaran di kalangan ilmuan. Khususnya akhir-akhir ini, di mana kitab-kitab yang menjadi dokumen autentik tentang pembukuan sunnah itu sudah banyak ditemukan naskah manuskripnya dan telah diterbitkan. Dengan terbitnya kitab-kitab itu secara otomatis meruntuhkan isu yang tersebar di kalangan orientalis.
Adalah Prof. Muhammad Hamidullah, pakar muslim di Sorbonne, Prancis, asal India, pertama kali mentahqiq (memberi komentar dan mengedit) dan menerbitkan "Shahifat Hammam ibn Munabbih" yang merupakan bukti kuat adanya pembukuan Hadits pada zaman shahabat Nabi r.a. Sebab Shahifat (lembaran) itu diriwayatkan oleh Hammam ibn Munabbih dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- yang merupakan salah seorang perawi hadits terbesar di kalangan shahabat Nabi.
Bahkan Prof. Rif’at Fauzy telah menerbitkan dua shahifat yang usianya cukup tua. Pertama, "Shahifat Ali ibn Abi Thalib r.a" disertai ta’liq (komentar dan edit). Kedua, "Shahifat Hammam" yang diterbitkan Hamidullah sebelumnya. Tetapi lebih dilengkapi dengan kajian integral tentang shahifat itu dari berbagai sudut pandang, hingga tampil lebih berbobot dari yang pertama. Itu tampak dari sambutan yang berdatangan dari berbagai pihak. Dan katanya beliau akan menerbitkan shahifat-shahifat lainnya seperti "Shahifat Abdullah ibn ‘Amr ibn al-’Ash" yang cukup dikenal dengan istilah "ash-Shahifat ash-Shadiqah" (lembaran yang terpercaya).
Saking pentingnya studi tentang lembaran-lembaran pencatatn hadits pada priode awal Islam ini, Ahmad Abd. Rahman Ash-Shuwayyan, seorang peneliti di Universitas Islam di Medinah mengangkat masalah ini sebagai judul tesis "master"nya dengan "Shaha`if ash-Shahabat -radhiallahu ‘anhum-" yang telah diterbitkan pada tahun 1990 lalu. Di samping penulis sendiri mengangkat masalah ini sebagai sub bahasan dalam disertasi saya tentang "Sunnah di Indonesia" yang diajukan ke Fak. Darul ‘Ulum, Univ. Kairo bulan Agustus 1996 lalu.

Wallahul muwafiq….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar